MENGUKUR KESADARAN DIRI
Silahkan dishare jika bermanfaat
Pada tahun 2011 lalu, saya mengikuti sebuah seminar Patuh Peraturan Lalu Lintas di salah satu Perguruan Tinggi di kota Banjarmasin. Seorang narasumber mengatakan ada 3 faktor seseorang mematuhi Peraturan Lalu Lintas, yakni:
1. Kesadaran Diri, seseorang memamtuhi Peraturan Lalu Lintas karena kesadaran dari dalam dirinya sendiri, bukan karena faktor dari luar. Sesungguhnya ini merupakan tingkat kesadaran tertinggi dalam mematuhi Peraturan Lalu Lintas.
2. Takut Kecelakaan, seseorang mematuhi Peraturan Lalu Lintas karena ia takut mengalami kecelakaan dan akibat yang harus ia tanggung dari kecelakaan tersebut.
3. Takut Sanksi, seseorang mematuhi Peraturan Lalu Lintas karena ia takut dihukum atau ditilang oleh Polisi. Faktor ketiga ini merupakan tingkat terendah dari suatu kesadaran serta rentan sekali terhadap pelanggaran, terutama ketika tidak ada Petugas Berwajib.
Ketiga faktor ini dapat digunakan sebagai tolok ukur kedewasaan seseorang dalam mematuhi Peraturan Lalu Lintas.
Mengadopsi kerangka pikir di atas, saya berupaya mengkategorikan kesadaran seseorang dalam menghadapi Pandemi Covid 19, sebagai berikut:
1. Kesadaran Diri, seseorang sadar dengan sungguh-sungguh dari dalam dirinya bahwa Covid 19 sangat berbahaya, serta berupaya untuk menanggulanginya dengan mematuhi himbaun atau protokol kesehatan dari Pemerintah, POLRI, TNI, Gereja dan lembaga-lembaga agama lainnya.
2. Takut Terkena Covid 19, seseorang mematuhi himbaun karena ia takut terinfeksi Covid 19 serta ia sadar jika ia terkena, maka ia membahayakan dirinya sendiri serta seluruh keluarganya.
3. Takut Sanki, seseorang mematuhi himbauan karena ia takut hukuman dari pemerintah. Kesadaran ini sangat rentan terjadi pelanggaran. Banyak kita jumpai kasus ini, dimana seseorang nekat mengumpulkan orang banyak secara diam-diam, baginya hukuman dari pemerintah lebih menakutkan dari efek terinfeksi Covid 19.
4. Ngeyel, seseorang tidak memiliki kesadaran diri, tidak takut terkena Covid 19 dan tidak takut sanksi dari pemerintah. Tipe seperti ini kerab kali saya jumpai, dimana seseorang mengatakan jika waktunya mati, maka ia tetap mati kendati pun tinggal di rumah saja. Baginya, terkena Covid 19 adalah suatu musibah atau takdir yang tidak dapat ditolak, tanpa ada upaya sedikit pun untuk mencegahnya. Dengan pola pikir “Ngeyel” ini seseorang tidak membatasi aktivitasnya serta mengabaikan protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah. Alasan yang sering saya dengar ialah karena “beriman.” Saya tidak pernah meragukan iman seseorang, tetapi saya meragukan kecedasannya serta kemampuannya menggunakan Akal Budi dan Akal Sehat.
Pada kategori manakah kita?? Silahkan mengukur diri sendiri.
Teriring Salam dan Doa: Andrian K. Ariawan