Sabtu, 27 Juni 2020

DAMPAK PERANG BANJAR TERHADAP PELAYANAN RHEINISCHE MISSIONSGESELLSCHAFT (RMG) DI KALIMANTAN (Kronologis Pembunuhan dan Penyelamatan Misionaris Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) Di Bangkal, Tanggohan dan Penda Alai Pada Bulan Mei 1859)

Oleh : Andrian Kiky Ariawan

 

Perang Banjar berdampak langsung terhadap pelayanan Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) di Kalimantan. Pasukan Perang Banjar menyerang wilayah-wilayah pelayanan RMG dan terjadilah pembunuhan. Pembunuhan para Misionaris RMG terjadi di tiga tempat. Misionaris Hupperts dibunuh di kampung Bengkulu, Bangkal, Ferdinan Rott dan kawan-kawan di Tanggohan dan Hofmeister dan istri di Penda Alai, Buntoi. Sementara itu Misionaris Beyer, Van Höfen, Denninger, Zimmer dan keluarga mereka yang pada saat itu berada di Pulau Petak, Klammer di Tamiang Layang dan istri serta anak Misionaris Rott di Tanggohan berhasil diselamatkan oleh serdadu Belanda.

1.      Pembunuhan Misionaris Hupperts di Bangkal

Misionaris Hupperts adalah Misionaris RMG, ia tiba di Banjarmasin pada tanggal 3 Desember 1836 dan langsung ditempatkan di pedalaman Kalimantan.[1] Pada tahun 1850 berhenti bekerja sebagai Misionaris RMG dan kemudian bekerja pada perusahaan batu bara milik Belanda (VOC) di Bangkal.[2]

Pada saat Perang Banjar meletus pada tanggal 28 April 1859, Hupperts sedang berada di Bangkal. Pasukan Gerakan  Muning menyerbu pemukiman Hupperts pada tanggal 1 Mei 1859.  Pada saat itu, Hupperts dan putranya sedang berdiri di depan pintu. Seorang Melayu mendekatinya dan memanggilnya dengan cara yang aneh. Istri Hupperts memandang laki-laki tersebut dari ruangan dan memanggil suaminya serta melarangnya pergi, tetapi pada saat ia memperingatkan suaminya, orang itu menangkap Hupperts, menariknya keluar pintu dan menikamnya. Hupperts meninggal pada tikaman pertama. Kemudian orang tersebut membunuh putra Hupperts. Istri Hupperts melarikan diri dengan anak-anak lainnya. Seorang China, tetangga terdekat Hupperts, telah menyaksikan pembunuhan itu dan segera berjalan ke Kalangan menemui Wijnmalen. Bapak Wijnmalen dan Br. W. Boodt segera datang ke rumah Huppert tanpa senjata, dan demikian pula para pembunuh, lima orang Melayu, segera menyusul mereka.  W. Boodt terluka parah akibat ulah orang Melayu tersebut. Ia berhasil melarikan diri sampai ke rumahnya tetapi kemudian ia jatuh dan mati. Tuan Wijnmalen juga  berjalan kembali ke rumahnya dan mampu membela diri selama empat jam. Tetapi pada akhirnya, para pembunuh membakar rumahnya dan membunuh istri Wijnmalen serta putra tertua mereka. Kemudian mereka membunuh Tuan Wijnmalen, dan orang-orang Eropa lain, termasuk seorang dokter dari Ilmenau, Jerman.[3]

Istri Hupperts, tujuh anak-anak, istri Bood dan anak-anak Wijmalen ditangkap dan dikurung di rumah perempuan oleh para pembunuh atas perintah Pangeran Hidayatullah.[4] Tetapi kemudian Pangeran Hidayat membebaskan mereka dan mengirim mereka ke Martapura. Dari Martapura, kemudian mereka dikirim ke Banjarmasin pada tanggal 19 Mei 1859. Istri Hupperts sangat menghargai jasa baik Pangeran Hidayatullah, tetapi ia juga sangat mencurigai bahwa peristiwa tersebut ada hubungannya dengan Pangeran Hidayatullah.[5]

2.      Situasi dan Penyelamatan Para Misionaris RMG di Pulau Petak

Berita bahwa terjadi pemberontakan di Pengaron terdengar oleh para Misionaris RMG di Tanggohan, tetapi mereka berpikir pemberontakan tersebut tidak berbahaya terhadap bidang pekerjaan mereka. Barang kali pemberontakan tersebut lebih fokus untuk melengserkan Sultan Tamjidillah dari tahtanya. Hal ini telah mereka bicarakan dalam Konferensi Umum para Misionaris pada tanggal 10-15 April di Tanggohan.[6]

Pertama kali para Misionaris di Pulau Petak dan Tanggohan menyadari bahwa gerakan Perang Banjar berbahaya bagi mereka ketika Denninger dan istrinya datang ke Pulau Petak pada tanggal 27 April 1859. Mereka melarikan diri dari Sihong (Siong) karena Tumenggung Jalil dari Amuntai berupaya mengusai wilayah Siong, Patei (Patai), Daju (Dayu) dan lain-lain. Denningger juga menyampaikan bahwa Tumenggung Surapati akan segera ke Pulau Petak dan berupaya untuk mengusainya. Pada situasi demikian, para Misionaris mendapat tawaran perlindungan dari Bengert di Marabahan.  Bengert telah mendapat bantuan 250 orang orang Siong dan beberapa orang Patai untuk memperkuat pertahanan Belanda di Marabahan. Melewati Denninger dan istrinya, Misionaris Klammer memberitahu keadaannya di Tamiang Layang. Ia mengatakan bahwa ia dalam keadaan yang baik, namun secara umum keadaan para  Misionaris sedang dalam bahaya. Pasukan Perang Banjar tampaknya menjadi ancaman keselamatan mereka. Di akhir suratnya, Klammer menguatkan para Misionaris lainnya melalui doa-doanya.[7]

Pada hari Kamis 28 April 1859, Misionarsi Beyer mengajar di sekolah Zending di Pulau Petak dan dihadiri 25 orang. Pada hari Jum’at 29 April 1859, Beyer kembali mengajar dan hanya dihadiri oleh 5 orang murid. Beyer kemudian mengutus muridnya yang bernama Julius kepada tetua kampung untuk menanyakan kondisi pergerakan pasukan Perang Banjar. Namun tetua kampung tersebut menyatakan bahwa mereka tidak memiliki hubungan dan urusan dengan para Misionaris. Pada pukul 15.00 sore hari, Beyer menerima informasi dari Van Hõfen, Zimmer dan Denninger bahwa terdapat sekolompok orang Dayak telah memberontak kepada Pemerintah Kolonial Belanda serta bersatu dengan Tumenggung Jalil dan Pengeran Hidayatullah. Kelompok ini berencana membunuh para Misionaris pada tanggal 1 Mei 1859.[8]

Setelah menerima informasi tersebut, Beyer segera menulis surat untuk Misionaris Rott dan Misionaris lain yang berada di Tanggohan. Tetapi Rott berpikir bahwa hal tersebut hanya upaya untuk menakut-nakuti mereka saja.  Rott, istri dan anaknya serta Wiegand bersama istri dan anaknya akan tetap tinggal di Tanggohan dan tidak pergi ke Pulau Petak.[9]

Seseorang yang bernama Theodore, saudara laki-laki Titus datang dengan gemetar menemui Beyer dan mengatakan bahwa para Misionaris sedang dalam bahaya. Menurut informasi dari Theodore, orang-orang utusan Pangeran Hidayatullah telah tiba di Pulau Petak pada tanggal 28 April 1859 dan telah sepakat untuk membunuh para Misionaris pada hari Minggu, tanggal 1 Mei 1859. Hal yang sama juga akan dilakukan di Kahayan, Tanggohan dan semua pos dimana orang-orang Eropa berada, setelah itu Banjar menjadi sasaran utama mereka.[10]

Setelah mendengar berita tersebut, Misionaris Beyer segera berkemas untuk kebutuhan pelayanan dan kebutuhan makan selama 1 bulan serta barang-barang kebutuhan lainnya. Ia dibantu istrinya yang masih lemah karena baru melahirkan tiga minggu sebelumnya.  Keesokaan harinya, tanggal 30 April 1859, mereka siap berangkat ke Bethabara. Tetapi sebelum mereka berangkat, seorang murid yang bernama Djakat datang ke kediaman Beyer. Djakat diutus ayahnya untuk memberi tahu Misionaris Beyer agar tidak terburu-buru pergi ke Bethabara, karena hampir seluruh wilayah Kapuas telah diduduki pasukan Perang Banjar serta mereka mengancam akan membunuh para Misionaris jika melarikan diri. Misionaris Beyer bersama keluarganya pergi ke Bethabara di tengah terik matahari. Ketika ia sampai di Bethabara, ia berjumpa dengan Misionaris Zimmer dan istrinya yang telah melarikan diri dari Palangau (Palingkau) dan tinggal di rumah Van Hõfen . Rumah Van Hõfen dijaga oleh para Pandeling yang bersenjata.[11]

Minggu, tanggal 1 Mei 1859, Beyer bersama Misionaris yang lain pergi beribadah ke Gereja dengan membawa senjata. Bapak Huju, seorang pedagang Cina yang tinggal di Palingkau memperingatkan mereka, agar tidak pergi ke Gereja. Menurut bapak Huju, pasukan Perang Banjar benar-benar berencana membunuh para Misionaris. Kendatipun rencana tersebut gagal dilakukan pada tanggal 1 Mei 1859, namun komplotan Dayak yang mendukung pasukan Perang Banjar akan menunaikan rencana mereka dihari-hari selanjutnya. Meski pun telah diperingatkan, Beyer bersama Misionaris yang lain tetap beribadah di Gereja. Misionaris Van Hõfen berkhotbah dari kitab Mazmur. Pada hari itu mereka beribadah dengan aman tanpa gangguan dari komplotan Dayak pendukung Pangeran Hidayatullah.[12]

Pada hari yang sama, yakni Minggu 1 Mei 1859, Van Hõfen mendapatkan tamu seorang perempuan bersama dengan anak-anaknya. Perempuan tersebut biasa dipanggil Nyonya Maks. Nyonya Maks adalah istri Komandan Maks, seorang administrator Pemerintah Kolonial Belanda yang bertugas di Kapuas dan Kahayan. Pada malam hari sebelumnya, Nyonya Maks disergap oleh seseorang di rumahnya, namun ia beserta anak-anaknya berhasil melarikan diri. Ia segara mengirim surat melalui pos kilat, guna melaporkan insiden tersebut kepada suaminya yang sedang bertugas di Kahayan.[13]

Senin 2 Mei, dua orang tetua kampung, yang juga bagian dari komplotan itu,  mendatangi para Misionaris dan memberi tahu tentang situasi dan kondisi saat itu. Pulau Petak telah sepenuhnya jatuh ke tangan para pemberontak. Meskipun rencana mereka terhadap para Misionaris pada 1 Mei gagal, mereka tidak akan berhenti sampai para Misionaris benar-benar hancur, karena jika mereka tidak menghancurkan para Misionaris, maka merekalah yang akan dihancurkan oleh pasukan Perang Banjar. Beyer beserta Misionaris yang lain segera mengirim pesan kepada Residen Belanda di Banjar. Wakil Tumenggong menambahkan di sini sebuah surat yang secara rinci meminta perlindungan bagi para Misionaris dan penyelamatan Pulopetak.[14]

Hari Selasa, tanggal 3 Mei 1859, Komandan Maks mengirin pesan kepada Residen Belanda di Banjarmasin. Ia memberitahu bahwa keadaan di Pulau Petak dan sekitarnya sedang tidak baik. Komplotan pemberontak Dayak bersatu dengan kekuatan Islam pendukung Pangeran Hidayatullah, mereka sepakat akan segera melaksanakan rencana yang pernah gagal dilaksanakan pada tanggal 1 Mei 1859. Pada hari yang sama, para Misionaris di Bethabara menerima informasi dari Barnstein di Banjarmasin, bahwa di Banjarmasin terjadi huru-hara serta penyerangan terhadap tambang batu bara di Pengaron. Ia juga menyampaikan bahwa Hupperts telah dibunuh di Bangkal pada tanggal 1 Mei 1859.[15]

Pada pagi hari tanggal 6 Mei 1859, utusan para Misionaris tiba dari Banjarmasin. Pada sore harinya, kapal uap kecil datang bersama seorang Letnan dengan 25 orang perwira untuk melindungi para Misionaris dan para pegawai Pemerintah Kolonial Belanda. Para Misionaris terjaga aman dibawah perlindungan serdadu militer Belanda. Namun kondisi semakin memburuk, dimana para pemberontak telah mengepung Bethabara, sehingga kapal uap tersebut harus segera meninggalkan Bethabara membawa para Misionaris dan orang-orang Eropa lain ke Banjarmasin. Misionaris Zimmer dan Van Hõfen membujuk Komandan Maks untuk pergi ke Tanggohan dan menyelamatkan para Misionaris di sana. Tetapi Komandan Maks tidak memiliki wewenang untuk melakukannya, Kolonel Belanda di Banjarmasin hanya memerintahkan penjemputan sampai Pulau Petak. Kolonel berpikir semua Misionaris telah berkumpul di Pulau Petak. Beyer beserta Misionaris yang lain meminta agar kapal uap tersebut menunggu sampai hari berikutnya. Mereka akan berupaya menjemput rekan-rekan Misionaris di Tanggohan. Beyer kemudian menulis surat dan mengirimnya ke Tanggohan dengan bantuan 5 orang laki-laki.[16]

Pada malam harinya situasi semakin gawat, Komandan Maks segera memerintahkan para Misionaris segera naik kapal. Jalan menuju rumah Van Hõfen dikuasai para pemberontak dan seluruh barang miliknya dijarah. Para Misionaris segera naik ke atas kapal diikuti beberapa orang murid mereka, termasuk Julius. Beyer dan Misionaris lainnya memohon agar kapal uap tersebut tetap bertahan sampai hari selanjutnya, sembari menunggu kedatangan rekan-rekan Misionaris dari Tanggohan. Mula-mula permohonan tersebut dikabulkan, tetapi situasi semakin berbahaya, kekuatan kapal tersebut tidak cukup memadai untuk menahan serangan musuh sepanjang malam. Maka dengan demikian, Kapten Kapal memutuskan untuk segera pergi meninggal Bethabara. Ketika melewati sungai Mengkatip, Kapten kapal tergerak hatinya, ia menyesal telah meninggal para Misionaris lainnya di Tanggohan. Ia meminta nahkoda untuk berputar balik, tetapi kapal tersebut tidak memiliki cukup batu bara untuk bahan bakar. Terlintas dipikiran Kapten untuk mencari kayu sebagai pengganti batu bara, tetapi dalam situasi berbahaya, sangat tidak mungkin kapal menepi untuk mencari kayu. Meski pun dengan berat hati, Kapten Kapal melanjutkan pelayaran menuju Marabahan.  Kapal tersebut tiba di Marabahan pada hari Sabtu 7 Mei 1859. Di Marabahan kapal tersebut diserang oleh 3 orang Banjar, namun dapat di atasi oleh para awak kapal. Kapal tersebut segera melanjutkan pelayaran menuju Banjarmasin dan tiba pada pukul 01:00 malam hari. Para Misionaris diinterogasi, Beyer sendiri mendapat 19 pertanyaan dari Residen Belanda perihal pemberontakan di Pulau Petak.[17]

Kapal tersebut segera mendapat perintah untuk kembali ke Pulau Petak. Kapten dan para perwira segera berangkat ke Pulau Petak. Misionaris Van Hõfen, Denninger dan Zimmer pun ikut serta, mereka berharap dapat menyelamatkan beberapa orang Kristen di sana serta melihat apakah pelayanan dapat dilanjutkan. Ketika kapal uap tersebut berangkat, Misionaris Barnstein, Dietrich dan Beyer diundang oleh Kolonel untuk bertemu Sultan. Pertemuan tersebut dilakukan di rumah Residen pada pukul 17:30.  Kemudian para Misionaris ditinggalkan, Kolonel, Kapten dan Sultan berkonsultasi di ruang belakang. Dalam pertemuan tersebut, Residen Belanda meminta Sultan dan para haji Banjar untuk bernegosiasi dengan Pangeran Mangku Bumi Hidayatullah supaya ia meredam pemberontakan dengan cara baik-baik. Sultan dan para haji menyetujui permintaan tersebut dan menemui Pangeran Hidayatullah, tetapi Pangeran Hidayatullah bungkam tidak menjawab. Sikap Pangeran Hidayatullah ini merupakan deklarasi perang.[18]

Selasa, 10 Mei 1859 para Misionaris menerima surat dari orang-orang Belanda di Marabahan. Marabahan masih dikuasai Belanda dengan pertahanan militer. Informasi tentang Pulau Petak belum mereka terima. Para Misionaris berdiam diri di rumah, karena di luar rumah sangat berbahaya. Tanggal 12 Mei 1859, para Misionaris menerima surat dari Misionaris Clammy dan Klammer di Patai. Clammy dan Klammer mendapat himbauan dari Komandan Marabahan supaya segera meninggalkan tempat pelayanan, karena hampir seluruh wilayah Siong telah dikuasai Tumenggung Jalil. Pada sore harinya, mereka kembali menerima surat dari Zimmer, Van Hõfen dan Denninger yang menyatakan bahwa rekan-rekan pelayanan di Tanggohan, yakni Misionaris Rott, Maria putri Rott, Wiegand, istri Wiegand dan Kind telah di bunuh pada tanggal 7 Mei 1859 di Tanggohan. Istri Rott beserta 2 orang anaknya disekap di rumah Tumenggung, tetapi kemudian diselamatkan dengan kapal uap milik Belanda. Selanjutnya, kapal uap tersebut berlayar ke Kahayan untuk menyelamatkan Misionaris Hofmeister dan keluarganya, jika mereka masih dalam keadaan yang baik.[19]

Di Banjarmasin sendiri para Misionaris dan para pengikutnya selalu dalam bahaya, para pemberontak berupaya membinasakan mereka. Pada tanggal 13 Mei 1859, tempat kediaman Misionaris dan keluarganya dikepung oleh 40.000 orang Islam yang berupaya melakukan penyerangan, akan tetapi di bawah perlindungan militer Belanda, para Misionaris dan para pengikutnya terlindungi.[20]

3.      Pembunuhan Misionaris H. T. Rott dan Kawan-Kawan di Tanggohan

Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, pada tanggal 28 April 1859, Misionaris Beyer telah meminta Rott dan rekan-rekan pelayanan di Tanggohan, supaya segera berkumpul di Bethabara, Pulau Petak. Permintaan tersebut berkaitan dengan situasi yang sangat berbahaya, namun Rott menolak permintaan tersebut.[21] Sehingga masih ada beberapa keluarga Misionaris yang bertahan di Tanggohan ketika komplotan pemberontak tersebut menyerbu Tanggohan.

Pada tanggal 7 Mei 1859, Misionaris Beyer dan Misionaris lain telah sampai di Marabahan. Sementara itu di Tanggohan masih tinggal 3 keluarga Misionaris, yakni keluarga Rott, Wiegand dan Kind. Pada dini hari tanggal 7 Mei 1859 para pemberontak mengepung Tanggohan.[22] Berdasarkan hasil penelusuran Ch. Bambang Ikat dan kawan-kawan, tim penulis Sejarah Gedung Gereja Imanuel GKE Mandomai, pasukan pemberontak tersebut dipimpin oleh Pambakal Sutil dari Alalak.[23] Sjamsuddin menyatakan bahwa dalam pembunuhan tersebut turut bergabung para mantan pekerja paksa di Bangkal dan Kalangan bahkan mereka yang melakukan pembunuhan terhadap para Misionaris RMG tersebut.[24]

Seorang Dayak anak asuh Rott tiba-tiba berteriak, Rott keluar dan turun ke depan rumah untuk memeriksa keadaan, namun tiba-tiba ia ditombak. Keluarga para Misionaris turun ke beranda, berusaha membujuk para pembunuh agar kiranya mereka diizinkan pergi dengan selamat. Tetapi percuma, para pembunuh justru menertawakan mereka dan menembak panah beracun sebagai jawaban dari permintaan tersebut. Misionaris Rott segera berlari mendapatkan perahu yang tertambat di jamban, tetapi perahu tersebut telah dikuasai para pembunuh. Misionaris Wiegand dan istrinya, Frieda, saling berpegang tangan. Misionaris Kind dan Margaretha, istrinya berdiri berdampingan, serta Maria, putri Rott. Ketika para pembunuh mendekat, Misionaris Rott berdoa, “Bapa, ke dalam tanganmu kuserahkan jiwaku,” dan Maria menyambung doa ayahnya, “sebentar kita sampai pada Tuhan Yesus yang dikasihi.” Margaretha menyuruh anak itu mengatakan kepada para pembunuh bahwa mereka mengampuni tindakan para pembunuh dengan tulus hati. Setelah itu para Misionaris, istri dan anak-anak mereka didorong oleh pembunuh ke dalam sungai Kapuas.[25] Secara terperinci, berikut ini korban pembunuhan di Tanggohan:[26]

1.      H. T. Rott

2.      Maria (putri sulung Rott)

3.      T. Wiegand

4.      Frieda (istri Wiegand)

5.      Nordsieck (putri Wiegand dan Frieda)

6.      T. Kind

7.      Margaretha (istri Kind)

Sementara itu, istri Rott dan putranya yang bernama Hans diselamatkan dari air oleh seorang anak muda. Namun penyelamatan itu bukan dengan maksud baik. Ia ditahan di rumah kepala suku selama tiga hari. Putrinya yang bernama Liena diselamatkan dibawa ke hutan oleh seorang pembantu dengan melarikannya ke dalam hutan, tetapi kemudian diantarkan kepada ibunya.  Selama disekap ia dianiaya bahkan hendak dipisahkan dari anak-anaknya. Meski pun mendapat penganiayaan, ia membela dirinya dengan menyatakan bahwa, “ia lebih baik mati dari pada menyangkal iman atau dijadikan budak.” Pada tanggal 10 Mei 1859 kapal uap milik Pemerintah Kolonial Belanda beserta Serdadu bersenjata tiba di Tanggohan, para pemberontak yang menyekap istri Rott dan kedua anaknya berlari ke dalam hutan. Istri Rott dan kedua anaknya diselamatkan oleh kapal milik Pemerintah Kolonial Belanda tersebut.[27]

4.      Pembunuhan Misionaris Hofmeister dan Istri di Penda Alai

Selain ke Tanggohan, kapal milik pemerintahan Kolonial Belanda juga berlayar ke Kahayan, menuju kediaman keluarga Misionaris Hofmeister di Penda Alai.[28] Tanggal 15 Mei 1859 kapal tersebut tiba di Penda Alai.[29] Mereka menemukan tempat tinggal Hoffmeister dan keluarganya dalam keadaan hancur berantakan. Di antaranya terdapat suatu tulisan di sebuah papan, yang menerangkan bahwa Hoffmeister dan istrinya telah dibunuh dan dikubur di belakang rumah serta empat anaknya diculik para pembunuh. Penulis pengumuman tersebut adalah anak asuh Hofmeister.[30]

Dua tahun kemudian anak asuh Hofmeister menceritakan peristiwa pembunuhan tersebut. Tanggal 9 Mei 1859 terjadi suatu keributan, lalu Misionaris Hofemeister memeriksanya dan tiba-tiba ia ditebas dengan parang. Ia masih sempat pulang ke rumahnya dan menjumpai keluarganya, tetapi rumah kediamannya telah dikepung oleh 100 orang pemberontak. Ia berlutut bersama istri dan anak-anaknya, lalu berdoa untuk para pembunuh. Menurut seorang saksi yang dikemudian hari menceritakan peristiwa tersebut kepada Misionaris Zimmer, isi doa Hoffmeister dan istrinya yakni, Tuhan yang dikasihi, Engkau yang menjadi Juruselamat kami, kasihanilah bangsa ini. Jangan mengambil kembali anugerah-Mu dari pada mereka dan karuniakan lagi Firman-Mu yang berharga kepada mereka.” Setelah selesai berdoa, Hofmeister dan istri ditembak beberapa kali. Tatkala anak-anaknya berupa meraih tubuh orang tua, para pembunuh kemudian memotong leher dan merobek tubuh Hofmeister dan istrinya. Pada malam berikutnya, 2 orang murid katekisasi Hofmeister mengubur kedua mayat Misionaris tersebut. Dua bulan kemudian keempat anak Hofmeister ditemukan penduduk dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Mereka diselamatkan, kemudian diantarkan ke Banjarmasin.[31]

 Versi lain mengatakan bahwa dua orang anak Hofmeister disembunyikan oleh Ongko Ronok, warga setempat yang tinggal bersama-sama Hofmeister. Ongko Ronok kemudian menyerahkan anak-anak Hofmeister kepada Ongko Benjor. Lalu Ongko Benjor membawa mereka ke Sei Bagayam, desa di seberang Buntoi. Selama 8 tahun Ongko Benjor memelihara anak-anak Hofmeister, lalu pada tahun 1867 Ongko Benjor menyerahkan mereka kepada Zending RMG di Banjarmasin dengan perantaraan seorang Damang dari Pangkoh.[32] Mungkin saja versi ke dua ini ada benarnya.[33]

5.      Penyelamatan Misionaris Klammer di Tamiang Layang

Sebuah Surat Kabar dari Batavia memberitakan bahwa Klammer terbunuh oleh pasukan Perang Banjar pada saat ia diantar oleh orang-orang Maanyan dari Tamiang Layang menuju Banjarmasin.[34] Informasi tersebut sampai kepada Beyer dan rekan-rekan Misionaris lainnya pada tanggal 24 Mei 1859. Menurut Surat Kabar dari Batavia tersebut, tubuh Klammer hanyut di aliran sungai Dusun tanpa lengan dan kaki.[35] Tetapi informasi tersebut adalah informasi yang keliru, Beyer dalam catatannya menepis kabar tersebut.

Misionaris Klammer mengikuti Konferensi Misionaris RMG di Tanggohan pada tanggal 10-15 April 1859.[36] Sekembalinya ke Tamiang Layang ia diperhadapkan dengan situasi yang sulit. Pergerakan pasukan Perang Banjar telah sampai ke Tamiang Layang serta berupaya membinasakan Klammer. Klammer diperhadapkan dengan pertanyaan dalam dirinya, “apakah ia harus merlarikan diri atau tetap bertahan di Tamiang Layang?” Dalam situasi demikian, Klammer berdoa kepada Tuhan:

Kiranya Allah mengaruniakan agar saya tidak bertindak bertantangan dengan kehendak-Nya. Jikalau Ia berkenan bahwa saya tetap tinggal, kiranya Ia melindungi jiwaku dari kesombongan. Jikalau Ia ingin bahwa saya pergi, maka kiranya Ia memberikan kelegahan hati pada saya.”

 

Dalam keputusasaannya ia memutuskan untuk tetap tinggal di Tamiang Layang, meski pun bahaya terus mengancamnya dan sewaktu-waktu dapat membinasakan jiwanya. Tanpa pengetahuan Klammer, ternyata ia telah diserang dua kali oleh pasukan Perang Banjar, tetapi pasukan tersebut berhasil diusir oleh Kepala Suku Dayak setempat.[37]

Pada  tanggal 17 Mei 1859 sampai kepadanya berita pembunuhan Misionaris di Kalangan, Tanggohan dan Penda Alai. Pada tanggal 20 Mei 1859 ia memutuskan untuk meninggalkan tempat pelayan dan pergi ke Banjarmasin. Perjalannya didampingi oleh 25 orang Kristen setia dan seorang Tumenggong Tamiang Layang, melintasi sungai Sirau menuju sungai Barito. Ketika perahu yang membawa Klammer tiba di desa Harara, mereka dihadang oleh sekolompok orang yang menggunakan perahu, mereka berjumlah 18 orang. Orang-orang ini mengaku sebagai pengikut Pangeran Hidayatullah. Orang-orang tersebut meminta agar Tumenggung Tamiang Layang menyerahkan Klammer. 25 orang Kristen yang mengantarkan Klammer bukan orang-orang yang terampil menggunakan senjata, mereka hanya murid-murid didikan Klammer. Satu-satunya alasan mengapa mereka kesulitan menangkap Klammer ialah karena Tumenggung Tamiang Layang dengan tegas membela Klammer dan menolak permintaan orang-orang tersebut. Tampaknya mereka segan dengan Tumenggung Tamiang Layang. Negosiasi terus berjalan hingga malam hari, namun gerombolan tersebut bersikeras ingin menangkap Klammer. Segera Tumenggung Tamiang Layang  mengutus beberapa orang pendayung untuk meminta bantuan kepada Kepala Suku Sarapat dan kepada Suta Ono di Telang. Pada pagi hari puluhan orang dari Sarapat datang, begitu juga Suta Ono bersama beberapa orang pengikutnya. Mereka bergabung untuk membela Klammer. Akhirnya rombongan Klammer dapat melanjutkan perjalanan. 12 orang dari gerombolan tersebut ditangkap Suta Ono.[38] Ketika perahu yang ditumpangi Klammer sampai di muara sungai Sirau dan memasuki sungai Barito, segerombolan orang mengintai mereka, tetapi bersamaan dengan itu sebuah kapal api Celebes milik Pemerintah Kolonial Belanda melintasi sungai Barito. Kapal ini berhasil membawa Klammer dengan selamat hingga Banjarmasin.[39]




         [1]Fridolin Ukur, Tuaiannya Sungguh Banyak: Sejarah Gereja Kalimanta Evangelis Sejak Tahun 1835 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 20023) 9.

         [2]A.W. Beyer, “De Moor op de Rijnsche Zendelingen,” dalam Peter Boomgaarrd, Harry A. Poezen dan Gerard Termorshuizen, God in Indië: Bekeringsverhalen Uit de Negentiende Eeuw (Leiden: KITLV Uitgeverij, 1997), 61.

         [3]Ibid., 67-68.

         [4]Ibid., 68.

         [5]Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti, Perlawanan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906 (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), 158.

         [6]A.W. Beyer, “De Moor op de Rijnsche Zendelingen…, 63.

         [7]Ibid., 64.

         [8]Ibid.

         [9]Ibid.

         [10]Ibid., 64-65.

         [11]Ibid., 65.

         [12]Ibid., 66.

         [13]Ibid.

         [14]Ibid.

         [15]Ibid., 66-67.

         [16]Ibid., 68.

         [17]Ibid., 68-70.

         [18]Ibid., 70.

         [19]Ibid., 70-71.

         [20]Ibid., 61, 71.

         [21]Ibid., 65.

         [22]Hermann Witschi, Kristus Menang: Sejarah Pekabaran Injil di Antara Orang Dayak di Borneo, terj. Cristus Siegt: Geschichte Der Dajak Mission Auf Borneo, diterjemahkan oleh MC Barth-Frommel untuk mahasiswa STT GKE (Basel: Bassel Mission Library, 1942), 15, word.

         [23]Ch. Bambang Ikat, Irin E. Nanyan dan A. Sabran Bulat, Sejarah Gedung Gereja Imanuel GKE Mandomai 1876-2016  ditandatangani di Mandomai pada tanggal 26 November 2016. Naskah tersebut diarsipkan di kantor Resort GKE Mandomai.

         [24]Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung…, 159.

          [25]Hermann Witschi, Kristus Menang…, 16.

         [26]A.W. Beyer, “De Moor op de Rijnsche Zendelingen…, 60.

         [27]Hermann Witschi, Kristus Menang…, 16.

         [28]Ibid., 17.

         [29]Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung…, 159.

         [30]Hermann Witschi, Kristus Menang…, 17.

         [31]Ibid.

         [32]Chindi Karlina, Sejarah Perkembangan Jemaat GKE Buntoi Tahun 1963-2006 (Banjarmasin: Skripsi pada STT GKE, 2015), 37-38.

         [33]Versi kedua ini merupakan hasil penelitian Tantan, seorang mantan Ketua Resort GKE Buntoi. Penelitian ini dilakukan dengan mewawancarai para sesepuh gereja Buntoi, tapi sangat disayangkan, saat ini sesepuh gereja Buntoi tersebut telah meningga dunia. Hasil penelitian Tantan ini publikasikan terbatas dalam bentuk makalah yang diberi judul Napak Tilas Penginjilan Misionaris Hofmeister di Desa Buntoi.

         [34]Hermann Witschi, Kristus Menang…, 18.

         [35]A.W. Beyer, “De Moor op de Rijnsche Zendelingen…, 61.

         [36]Ibid., 63.

         [37]Hermann Witschi, Kristus Menang…, 18

         [38]Hadi Saputra, diunggah oleh Marko Mahin, Sejarah GKE: Carl Johann Klammer (Palangka Raya: 23 September 2018, diakses pada tanggal 18 April 2020, http://mimbargke.com/sejarah/2018/09/23/carl-johann-klammer/

         [39]Hermann Witschi, Kristus Menang…, 18.



Sumber:

Beyer, A.W. “De Moor op de Rijnsche Zendelingen,” dalam Peter Boomgaarrd, Harry A. Poezen dan Gerard Termorshuizen, God in Indië: Bekeringsverhalen Uit de Negentiende Eeuw (Leiden: KITLV Uitgeverij, 1997).

 

Ikat, Ch. Bambang, Irin E. Nanyan dan A. Sabran Bulat. “Sejarah Gedung Gereja Imanuel GKE Mandomai 1876-2016” dan  ditandatangani di Mandomai pada tanggal 26 November 2016. Naskah tersebut diarsipkan di kantor Resort GKE Mandomai

 

Karlina, Chindi. Sejarah Perkembangan Jemaat GKE Buntoi Tahun 1963-2006. Banjarmasin: Skripsi pada STT GKE, 2015.

 

Saputra, HadiSejarah GKE: Carl Johann Klammerdiunggah oleh Marko Mahin.  Palangka Raya: 23 September 2018. Diakses pada tanggal 18 April 2020.

http://mimbargke.com/sejarah/2018/09/23/carl-johann-klammer/

 

Sjamsuddin, Helius. Pegustian dan Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti,Perlawanan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.

 

Ukur, Fridolin. Tuaiannya Sungguh Banyak: Sejarah Gereja Kalimanta Evangelis Sejak Tahun 1835. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 20023.

 

Witschi, Hermann. Kristus Menang: Sejarah Pekabaran Injil di Antara Orang Dayak di Borneo. Terjemah Cristus Siegt: Geschichte Der Dajak Mission Auf Borneo. Diterjemahkan oleh MC Barth-Frommel untuk mahasiswa STT GKE. Basel: Bassel Mission Library, 1942. Word.

 


Bersyukurlah

Berpikir positif