Oleh :
Andrian Kiky Ariawan
Perang Banjar berdampak
langsung terhadap pelayanan Rheinische
Missionsgesellschaft (RMG) di
Kalimantan. Pasukan
Perang Banjar menyerang wilayah-wilayah pelayanan RMG dan terjadilah
pembunuhan. Pembunuhan para Misionaris RMG terjadi di tiga tempat. Misionaris
Hupperts dibunuh di kampung Bengkulu, Bangkal, Ferdinan Rott dan kawan-kawan di
Tanggohan dan Hofmeister dan istri di Penda Alai, Buntoi. Sementara itu
Misionaris Beyer, Van Höfen, Denninger, Zimmer dan keluarga mereka yang pada
saat itu berada di Pulau Petak, Klammer di Tamiang Layang dan istri serta anak
Misionaris Rott di Tanggohan berhasil diselamatkan oleh serdadu Belanda.
1. Pembunuhan
Misionaris Hupperts di Bangkal
Misionaris Hupperts adalah
Misionaris RMG, ia tiba di Banjarmasin pada tanggal 3 Desember 1836 dan
langsung ditempatkan di pedalaman Kalimantan.[1]
Pada tahun 1850 berhenti bekerja sebagai Misionaris RMG dan kemudian bekerja
pada perusahaan batu bara milik Belanda (VOC) di Bangkal.[2]
Pada saat Perang Banjar
meletus pada tanggal 28 April 1859, Hupperts sedang berada di Bangkal. Pasukan
Gerakan Muning menyerbu pemukiman
Hupperts pada tanggal 1 Mei 1859. Pada
saat itu, Hupperts dan putranya sedang berdiri di depan pintu. Seorang Melayu
mendekatinya dan memanggilnya dengan cara yang aneh. Istri Hupperts memandang laki-laki
tersebut dari ruangan dan memanggil suaminya serta melarangnya pergi, tetapi
pada saat ia memperingatkan suaminya, orang itu menangkap Hupperts, menariknya
keluar pintu dan menikamnya. Hupperts meninggal pada tikaman pertama. Kemudian orang
tersebut membunuh putra Hupperts. Istri Hupperts melarikan diri dengan
anak-anak lainnya. Seorang China, tetangga terdekat Hupperts, telah menyaksikan
pembunuhan itu dan segera berjalan ke Kalangan menemui Wijnmalen. Bapak
Wijnmalen dan Br. W. Boodt segera datang ke rumah Huppert tanpa senjata, dan
demikian pula para pembunuh, lima orang Melayu, segera menyusul mereka. W. Boodt terluka parah akibat ulah orang
Melayu tersebut. Ia berhasil melarikan diri sampai ke rumahnya tetapi kemudian ia
jatuh dan mati. Tuan Wijnmalen juga berjalan
kembali ke rumahnya dan mampu membela diri selama empat jam. Tetapi pada akhirnya,
para pembunuh membakar rumahnya dan membunuh istri Wijnmalen serta putra tertua
mereka. Kemudian mereka membunuh Tuan Wijnmalen, dan orang-orang Eropa lain,
termasuk seorang dokter dari Ilmenau, Jerman.[3]
Istri Hupperts, tujuh anak-anak,
istri Bood dan anak-anak Wijmalen ditangkap dan dikurung di rumah perempuan
oleh para pembunuh atas perintah Pangeran Hidayatullah.[4]
Tetapi kemudian Pangeran Hidayat membebaskan mereka dan mengirim mereka ke
Martapura. Dari Martapura, kemudian mereka dikirim ke Banjarmasin pada tanggal
19 Mei 1859. Istri Hupperts sangat menghargai jasa baik Pangeran Hidayatullah,
tetapi ia juga sangat mencurigai bahwa peristiwa tersebut ada hubungannya
dengan Pangeran Hidayatullah.[5]
2. Situasi
dan Penyelamatan Para Misionaris RMG di Pulau Petak
Berita bahwa terjadi
pemberontakan di Pengaron terdengar oleh para Misionaris RMG di Tanggohan,
tetapi mereka berpikir pemberontakan tersebut tidak berbahaya terhadap bidang
pekerjaan mereka. Barang kali pemberontakan tersebut lebih fokus untuk
melengserkan Sultan Tamjidillah dari tahtanya. Hal ini telah mereka bicarakan
dalam Konferensi Umum para Misionaris pada tanggal 10-15 April di Tanggohan.[6]
Pertama kali para
Misionaris di Pulau Petak dan Tanggohan menyadari bahwa gerakan Perang Banjar
berbahaya bagi mereka ketika Denninger dan istrinya datang ke Pulau Petak pada
tanggal 27 April 1859. Mereka melarikan diri dari Sihong (Siong) karena
Tumenggung Jalil dari Amuntai berupaya mengusai wilayah Siong, Patei (Patai),
Daju (Dayu) dan lain-lain. Denningger juga menyampaikan bahwa Tumenggung
Surapati akan segera ke Pulau Petak dan berupaya untuk mengusainya. Pada
situasi demikian, para Misionaris mendapat tawaran perlindungan dari Bengert di
Marabahan. Bengert telah mendapat
bantuan 250 orang orang Siong dan beberapa orang Patai untuk memperkuat
pertahanan Belanda di Marabahan. Melewati Denninger dan istrinya, Misionaris
Klammer memberitahu keadaannya di Tamiang Layang. Ia mengatakan bahwa ia dalam
keadaan yang baik, namun secara umum keadaan para Misionaris sedang dalam bahaya. Pasukan
Perang Banjar tampaknya menjadi ancaman keselamatan mereka. Di akhir suratnya,
Klammer menguatkan para Misionaris lainnya melalui doa-doanya.[7]
Pada hari Kamis 28
April 1859, Misionarsi Beyer mengajar di sekolah Zending di Pulau Petak dan
dihadiri 25 orang. Pada hari Jum’at 29 April 1859, Beyer kembali mengajar dan
hanya dihadiri oleh 5 orang murid. Beyer kemudian mengutus muridnya yang
bernama Julius kepada tetua kampung untuk menanyakan kondisi pergerakan pasukan
Perang Banjar. Namun tetua kampung tersebut menyatakan bahwa mereka tidak
memiliki hubungan dan urusan dengan para Misionaris. Pada pukul 15.00 sore
hari, Beyer menerima informasi dari Van Hõfen, Zimmer dan Denninger bahwa
terdapat sekolompok orang Dayak telah memberontak kepada Pemerintah Kolonial
Belanda serta bersatu dengan Tumenggung Jalil dan Pengeran Hidayatullah.
Kelompok ini berencana membunuh para Misionaris pada tanggal 1 Mei 1859.[8]
Setelah menerima
informasi tersebut, Beyer segera menulis surat untuk Misionaris Rott dan
Misionaris lain yang berada di Tanggohan. Tetapi Rott berpikir bahwa hal
tersebut hanya upaya untuk menakut-nakuti mereka saja. Rott, istri dan anaknya serta Wiegand bersama
istri dan anaknya akan tetap tinggal di Tanggohan dan tidak pergi ke Pulau
Petak.[9]
Seseorang yang bernama
Theodore, saudara laki-laki Titus datang dengan gemetar menemui Beyer dan
mengatakan bahwa para Misionaris sedang dalam bahaya. Menurut informasi dari
Theodore, orang-orang utusan Pangeran Hidayatullah telah tiba di Pulau Petak
pada tanggal 28 April 1859 dan telah sepakat untuk membunuh para Misionaris
pada hari Minggu, tanggal 1 Mei 1859. Hal yang sama juga akan dilakukan di
Kahayan, Tanggohan dan semua pos dimana orang-orang Eropa berada, setelah itu
Banjar menjadi sasaran utama mereka.[10]
Setelah mendengar
berita tersebut, Misionaris Beyer segera berkemas untuk kebutuhan pelayanan dan
kebutuhan makan selama 1 bulan serta barang-barang kebutuhan lainnya. Ia
dibantu istrinya yang masih lemah karena baru melahirkan tiga minggu sebelumnya. Keesokaan harinya, tanggal 30 April 1859,
mereka siap berangkat ke Bethabara. Tetapi sebelum mereka berangkat, seorang
murid yang bernama Djakat datang ke kediaman Beyer. Djakat diutus ayahnya untuk
memberi tahu Misionaris Beyer agar tidak terburu-buru pergi ke Bethabara,
karena hampir seluruh wilayah Kapuas telah diduduki pasukan Perang Banjar serta
mereka mengancam akan membunuh para Misionaris jika melarikan diri. Misionaris Beyer
bersama keluarganya pergi ke Bethabara di tengah terik matahari. Ketika ia
sampai di Bethabara, ia berjumpa dengan Misionaris Zimmer dan istrinya yang
telah melarikan diri dari Palangau (Palingkau) dan tinggal di rumah Van Hõfen .
Rumah Van Hõfen dijaga oleh para Pandeling
yang bersenjata.[11]
Minggu, tanggal 1 Mei
1859, Beyer bersama Misionaris yang lain pergi beribadah ke Gereja dengan
membawa senjata. Bapak Huju, seorang pedagang Cina yang tinggal di Palingkau
memperingatkan mereka, agar tidak pergi ke Gereja. Menurut bapak Huju, pasukan
Perang Banjar benar-benar berencana membunuh para Misionaris. Kendatipun
rencana tersebut gagal dilakukan pada tanggal 1 Mei 1859, namun komplotan Dayak
yang mendukung pasukan Perang Banjar akan menunaikan rencana mereka dihari-hari
selanjutnya. Meski pun telah diperingatkan, Beyer bersama Misionaris yang lain
tetap beribadah di Gereja. Misionaris Van Hõfen berkhotbah dari kitab Mazmur.
Pada hari itu mereka beribadah dengan aman tanpa gangguan dari komplotan Dayak
pendukung Pangeran Hidayatullah.[12]
Pada hari yang sama, yakni
Minggu 1 Mei 1859, Van Hõfen mendapatkan tamu seorang perempuan bersama dengan
anak-anaknya. Perempuan tersebut biasa dipanggil Nyonya Maks. Nyonya Maks
adalah istri Komandan Maks, seorang administrator Pemerintah Kolonial Belanda
yang bertugas di Kapuas dan Kahayan. Pada malam hari sebelumnya, Nyonya Maks
disergap oleh seseorang di rumahnya, namun ia beserta anak-anaknya berhasil
melarikan diri. Ia segara mengirim surat melalui pos kilat, guna melaporkan
insiden tersebut kepada suaminya yang sedang bertugas di Kahayan.[13]
Senin 2 Mei, dua orang
tetua kampung, yang juga bagian dari komplotan itu, mendatangi para Misionaris dan memberi tahu tentang
situasi dan kondisi saat itu. Pulau Petak telah sepenuhnya jatuh ke tangan para
pemberontak. Meskipun rencana mereka terhadap para Misionaris pada 1 Mei gagal,
mereka tidak akan berhenti sampai para Misionaris benar-benar hancur, karena
jika mereka tidak menghancurkan para Misionaris, maka merekalah yang akan
dihancurkan oleh pasukan Perang Banjar. Beyer beserta Misionaris yang lain segera
mengirim pesan kepada Residen Belanda di Banjar. Wakil Tumenggong menambahkan
di sini sebuah surat yang secara rinci meminta perlindungan bagi para Misionaris
dan penyelamatan Pulopetak.[14]
Hari Selasa, tanggal 3
Mei 1859, Komandan Maks mengirin pesan kepada Residen Belanda di Banjarmasin.
Ia memberitahu bahwa keadaan di Pulau Petak dan sekitarnya sedang tidak baik.
Komplotan pemberontak Dayak bersatu dengan kekuatan Islam pendukung Pangeran
Hidayatullah, mereka sepakat akan segera melaksanakan rencana yang pernah gagal
dilaksanakan pada tanggal 1 Mei 1859. Pada hari yang sama, para Misionaris di
Bethabara menerima informasi dari Barnstein di Banjarmasin, bahwa di
Banjarmasin terjadi huru-hara serta penyerangan terhadap tambang batu bara di
Pengaron. Ia juga menyampaikan bahwa Hupperts telah dibunuh di Bangkal pada
tanggal 1 Mei 1859.[15]
Pada pagi hari tanggal
6 Mei 1859, utusan para Misionaris tiba dari Banjarmasin. Pada sore harinya,
kapal uap kecil datang bersama seorang Letnan dengan 25 orang perwira untuk
melindungi para Misionaris dan para pegawai Pemerintah Kolonial Belanda. Para
Misionaris terjaga aman dibawah perlindungan serdadu militer Belanda. Namun
kondisi semakin memburuk, dimana para pemberontak telah mengepung Bethabara,
sehingga kapal uap tersebut harus segera meninggalkan Bethabara membawa para
Misionaris dan orang-orang Eropa lain ke Banjarmasin. Misionaris Zimmer dan Van
Hõfen membujuk Komandan Maks untuk pergi ke Tanggohan dan menyelamatkan para
Misionaris di sana. Tetapi Komandan Maks tidak memiliki wewenang untuk
melakukannya, Kolonel Belanda di Banjarmasin hanya memerintahkan penjemputan
sampai Pulau Petak. Kolonel berpikir semua Misionaris telah berkumpul di Pulau
Petak. Beyer beserta Misionaris yang lain meminta agar kapal uap tersebut
menunggu sampai hari berikutnya. Mereka akan berupaya menjemput rekan-rekan
Misionaris di Tanggohan. Beyer kemudian menulis surat dan mengirimnya ke Tanggohan
dengan bantuan 5 orang laki-laki.[16]
Pada malam harinya
situasi semakin gawat, Komandan Maks segera memerintahkan para Misionaris
segera naik kapal. Jalan menuju rumah Van Hõfen dikuasai para pemberontak dan
seluruh barang miliknya dijarah. Para Misionaris segera naik ke atas kapal
diikuti beberapa orang murid mereka, termasuk Julius. Beyer dan Misionaris
lainnya memohon agar kapal uap tersebut tetap bertahan sampai hari selanjutnya,
sembari menunggu kedatangan rekan-rekan Misionaris dari Tanggohan. Mula-mula
permohonan tersebut dikabulkan, tetapi situasi semakin berbahaya, kekuatan
kapal tersebut tidak cukup memadai untuk menahan serangan musuh sepanjang
malam. Maka dengan demikian, Kapten Kapal memutuskan untuk segera pergi
meninggal Bethabara. Ketika melewati sungai Mengkatip, Kapten kapal tergerak
hatinya, ia menyesal telah meninggal para Misionaris lainnya di Tanggohan. Ia
meminta nahkoda untuk berputar balik, tetapi kapal tersebut tidak memiliki
cukup batu bara untuk bahan bakar. Terlintas dipikiran Kapten untuk mencari
kayu sebagai pengganti batu bara, tetapi dalam situasi berbahaya, sangat tidak
mungkin kapal menepi untuk mencari kayu. Meski pun dengan berat hati, Kapten
Kapal melanjutkan pelayaran menuju Marabahan.
Kapal tersebut tiba di Marabahan pada hari Sabtu 7 Mei 1859. Di
Marabahan kapal tersebut diserang oleh 3 orang Banjar, namun dapat di atasi
oleh para awak kapal. Kapal tersebut segera melanjutkan pelayaran menuju
Banjarmasin dan tiba pada pukul 01:00 malam hari. Para Misionaris diinterogasi,
Beyer sendiri mendapat 19 pertanyaan dari Residen Belanda perihal pemberontakan
di Pulau Petak.[17]
Kapal tersebut segera
mendapat perintah untuk kembali ke Pulau Petak. Kapten dan para perwira segera
berangkat ke Pulau Petak. Misionaris Van Hõfen, Denninger dan Zimmer pun ikut
serta, mereka berharap dapat menyelamatkan beberapa orang Kristen di sana serta
melihat apakah pelayanan dapat dilanjutkan. Ketika kapal uap tersebut
berangkat, Misionaris Barnstein, Dietrich dan Beyer diundang oleh Kolonel untuk
bertemu Sultan. Pertemuan tersebut dilakukan di rumah Residen pada pukul
17:30. Kemudian para Misionaris
ditinggalkan, Kolonel, Kapten dan Sultan berkonsultasi di ruang belakang. Dalam
pertemuan tersebut, Residen Belanda meminta Sultan dan para haji Banjar untuk
bernegosiasi dengan Pangeran Mangku Bumi Hidayatullah supaya ia meredam
pemberontakan dengan cara baik-baik. Sultan dan para haji menyetujui permintaan
tersebut dan menemui Pangeran Hidayatullah, tetapi Pangeran Hidayatullah
bungkam tidak menjawab. Sikap Pangeran Hidayatullah ini merupakan deklarasi
perang.[18]
Selasa, 10 Mei 1859
para Misionaris menerima surat dari orang-orang Belanda di Marabahan. Marabahan
masih dikuasai Belanda dengan pertahanan militer. Informasi tentang Pulau Petak
belum mereka terima. Para Misionaris berdiam diri di rumah, karena di luar
rumah sangat berbahaya. Tanggal 12 Mei 1859, para Misionaris menerima surat
dari Misionaris Clammy dan Klammer di Patai. Clammy dan Klammer mendapat
himbauan dari Komandan Marabahan supaya segera meninggalkan tempat pelayanan,
karena hampir seluruh wilayah Siong telah dikuasai Tumenggung Jalil. Pada sore
harinya, mereka kembali menerima surat dari Zimmer, Van Hõfen dan Denninger
yang menyatakan bahwa rekan-rekan pelayanan di Tanggohan, yakni Misionaris
Rott, Maria putri Rott, Wiegand, istri Wiegand dan Kind telah di bunuh pada
tanggal 7 Mei 1859 di Tanggohan. Istri Rott beserta 2 orang anaknya disekap di
rumah Tumenggung, tetapi kemudian diselamatkan dengan kapal uap milik Belanda.
Selanjutnya, kapal uap tersebut berlayar ke Kahayan untuk menyelamatkan
Misionaris Hofmeister dan keluarganya, jika mereka masih dalam keadaan yang
baik.[19]
Di Banjarmasin sendiri
para Misionaris dan para pengikutnya selalu dalam bahaya, para pemberontak
berupaya membinasakan mereka. Pada tanggal 13 Mei 1859, tempat kediaman
Misionaris dan keluarganya dikepung oleh 40.000 orang Islam yang berupaya
melakukan penyerangan, akan tetapi di bawah perlindungan militer Belanda, para
Misionaris dan para pengikutnya terlindungi.[20]
3. Pembunuhan
Misionaris H. T. Rott dan Kawan-Kawan di Tanggohan
Sebagaimana yang telah
diungkapkan di atas, pada tanggal 28 April 1859, Misionaris Beyer telah meminta
Rott dan rekan-rekan pelayanan di Tanggohan, supaya segera berkumpul di
Bethabara, Pulau Petak. Permintaan tersebut berkaitan dengan situasi yang
sangat berbahaya, namun Rott menolak permintaan tersebut.[21]
Sehingga masih ada beberapa keluarga Misionaris yang bertahan di Tanggohan
ketika komplotan pemberontak tersebut menyerbu Tanggohan.
Pada tanggal 7 Mei
1859, Misionaris Beyer dan Misionaris lain telah sampai di Marabahan. Sementara
itu di Tanggohan masih tinggal 3 keluarga Misionaris, yakni keluarga Rott,
Wiegand dan Kind. Pada dini hari tanggal 7 Mei 1859 para pemberontak mengepung
Tanggohan.[22]
Berdasarkan hasil penelusuran Ch. Bambang Ikat dan kawan-kawan, tim penulis Sejarah Gedung Gereja Imanuel GKE Mandomai,
pasukan pemberontak tersebut dipimpin oleh Pambakal Sutil dari Alalak.[23]
Sjamsuddin menyatakan bahwa dalam pembunuhan tersebut turut bergabung para
mantan pekerja paksa di Bangkal dan Kalangan bahkan mereka yang melakukan
pembunuhan terhadap para Misionaris RMG tersebut.[24]
Seorang Dayak anak asuh
Rott tiba-tiba berteriak, Rott keluar dan turun ke depan rumah untuk memeriksa
keadaan, namun tiba-tiba ia ditombak. Keluarga para Misionaris turun ke
beranda, berusaha membujuk para pembunuh agar kiranya mereka diizinkan pergi
dengan selamat. Tetapi percuma, para pembunuh justru menertawakan mereka dan
menembak panah beracun sebagai jawaban dari permintaan tersebut. Misionaris
Rott segera berlari mendapatkan perahu yang tertambat di jamban, tetapi perahu
tersebut telah dikuasai para pembunuh. Misionaris Wiegand dan istrinya, Frieda,
saling berpegang tangan. Misionaris Kind dan Margaretha, istrinya berdiri
berdampingan, serta Maria, putri Rott. Ketika para pembunuh mendekat, Misionaris Rott berdoa, “Bapa, ke dalam tanganmu kuserahkan jiwaku,”
dan Maria menyambung doa ayahnya, “sebentar
kita sampai pada Tuhan Yesus yang dikasihi.” Margaretha menyuruh anak itu
mengatakan kepada para pembunuh bahwa mereka mengampuni tindakan para pembunuh
dengan tulus hati. Setelah itu para Misionaris, istri dan anak-anak mereka
didorong oleh pembunuh ke dalam sungai Kapuas.[25]
Secara terperinci, berikut ini korban pembunuhan di Tanggohan:[26]
1. H.
T. Rott
2. Maria
(putri sulung Rott)
3. T.
Wiegand
4. Frieda
(istri Wiegand)
5. Nordsieck
(putri Wiegand dan Frieda)
6. T.
Kind
7. Margaretha
(istri Kind)
Sementara itu, istri
Rott dan putranya yang bernama Hans diselamatkan dari air oleh seorang anak
muda. Namun penyelamatan itu bukan dengan maksud baik. Ia ditahan di rumah
kepala suku selama tiga hari. Putrinya yang bernama Liena diselamatkan dibawa
ke hutan oleh seorang pembantu dengan melarikannya ke dalam hutan, tetapi
kemudian diantarkan kepada ibunya.
Selama disekap ia dianiaya bahkan hendak dipisahkan dari anak-anaknya.
Meski pun mendapat penganiayaan, ia membela dirinya dengan menyatakan bahwa, “ia lebih baik mati dari pada menyangkal iman
atau dijadikan budak.” Pada tanggal 10 Mei 1859 kapal uap milik Pemerintah
Kolonial Belanda beserta Serdadu bersenjata tiba di Tanggohan, para pemberontak
yang menyekap istri Rott dan kedua anaknya berlari ke dalam hutan. Istri Rott
dan kedua anaknya diselamatkan oleh kapal milik Pemerintah Kolonial Belanda
tersebut.[27]
4. Pembunuhan
Misionaris Hofmeister dan Istri di Penda Alai
Selain ke Tanggohan,
kapal milik pemerintahan Kolonial Belanda juga berlayar ke Kahayan, menuju
kediaman keluarga Misionaris Hofmeister di Penda Alai.[28]
Tanggal 15 Mei 1859 kapal tersebut tiba di Penda Alai.[29]
Mereka menemukan tempat tinggal Hoffmeister dan keluarganya dalam keadaan
hancur berantakan. Di antaranya terdapat suatu tulisan di sebuah papan, yang
menerangkan bahwa Hoffmeister dan istrinya telah dibunuh dan dikubur di
belakang rumah serta empat anaknya diculik para pembunuh. Penulis pengumuman
tersebut adalah anak asuh Hofmeister.[30]
Dua tahun kemudian anak
asuh Hofmeister menceritakan peristiwa pembunuhan tersebut. Tanggal 9 Mei 1859
terjadi suatu keributan, lalu Misionaris Hofemeister memeriksanya dan tiba-tiba
ia ditebas dengan parang. Ia masih sempat pulang ke rumahnya dan menjumpai
keluarganya, tetapi rumah kediamannya telah dikepung oleh 100 orang
pemberontak. Ia berlutut bersama istri dan anak-anaknya, lalu berdoa untuk para
pembunuh. Menurut seorang saksi yang dikemudian hari menceritakan peristiwa
tersebut kepada Misionaris Zimmer, isi doa Hoffmeister dan istrinya yakni, “Tuhan
yang dikasihi, Engkau yang menjadi Juruselamat kami, kasihanilah bangsa ini.
Jangan mengambil kembali anugerah-Mu dari pada mereka dan karuniakan lagi
Firman-Mu yang berharga kepada mereka.” Setelah selesai berdoa, Hofmeister dan istri
ditembak beberapa kali. Tatkala anak-anaknya berupa meraih tubuh orang tua,
para pembunuh kemudian memotong leher dan merobek tubuh Hofmeister dan
istrinya. Pada malam berikutnya, 2 orang murid katekisasi Hofmeister mengubur
kedua mayat Misionaris tersebut. Dua bulan kemudian keempat anak Hofmeister
ditemukan penduduk dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Mereka
diselamatkan, kemudian diantarkan ke Banjarmasin.[31]
Versi lain mengatakan bahwa dua orang anak
Hofmeister disembunyikan oleh Ongko Ronok, warga setempat yang tinggal
bersama-sama Hofmeister. Ongko Ronok kemudian menyerahkan anak-anak Hofmeister kepada
Ongko Benjor. Lalu Ongko Benjor membawa mereka ke Sei Bagayam, desa di seberang
Buntoi. Selama 8 tahun Ongko Benjor memelihara anak-anak Hofmeister, lalu pada
tahun 1867 Ongko Benjor menyerahkan mereka kepada Zending RMG di Banjarmasin
dengan perantaraan seorang Damang dari Pangkoh.[32]
Mungkin saja versi ke dua ini ada benarnya.[33]
5. Penyelamatan
Misionaris Klammer di Tamiang Layang
Sebuah Surat Kabar dari
Batavia memberitakan bahwa Klammer terbunuh oleh pasukan Perang Banjar pada
saat ia diantar oleh orang-orang Maanyan dari Tamiang Layang menuju
Banjarmasin.[34]
Informasi tersebut sampai kepada Beyer dan rekan-rekan Misionaris lainnya pada
tanggal 24 Mei 1859. Menurut Surat Kabar dari Batavia tersebut, tubuh Klammer
hanyut di aliran sungai Dusun tanpa lengan dan kaki.[35]
Tetapi informasi tersebut adalah informasi yang keliru, Beyer dalam catatannya
menepis kabar tersebut.
Misionaris Klammer
mengikuti Konferensi Misionaris RMG
di Tanggohan pada tanggal 10-15 April 1859.[36]
Sekembalinya ke Tamiang Layang ia diperhadapkan dengan situasi yang sulit.
Pergerakan pasukan Perang Banjar telah sampai ke Tamiang Layang serta berupaya
membinasakan Klammer. Klammer diperhadapkan dengan pertanyaan dalam dirinya, “apakah ia harus merlarikan diri atau tetap
bertahan di Tamiang Layang?” Dalam situasi demikian, Klammer berdoa kepada
Tuhan:
“Kiranya Allah mengaruniakan agar saya tidak bertindak
bertantangan dengan kehendak-Nya. Jikalau Ia berkenan bahwa saya tetap tinggal,
kiranya Ia melindungi jiwaku dari kesombongan. Jikalau Ia ingin bahwa saya
pergi, maka kiranya Ia memberikan kelegahan hati pada saya.”
Dalam
keputusasaannya ia memutuskan untuk tetap tinggal di Tamiang Layang, meski pun
bahaya terus mengancamnya dan sewaktu-waktu dapat membinasakan jiwanya. Tanpa
pengetahuan Klammer, ternyata ia telah diserang dua kali oleh pasukan Perang
Banjar, tetapi pasukan tersebut berhasil diusir oleh Kepala Suku Dayak
setempat.[37]
Pada tanggal 17 Mei 1859 sampai
kepadanya berita pembunuhan Misionaris di Kalangan, Tanggohan dan Penda Alai.
Pada tanggal 20 Mei 1859 ia memutuskan untuk meninggalkan tempat pelayan dan
pergi ke Banjarmasin. Perjalannya didampingi oleh 25 orang Kristen setia dan
seorang Tumenggong Tamiang Layang, melintasi sungai Sirau menuju sungai Barito.
Ketika perahu yang membawa Klammer tiba di desa Harara, mereka dihadang oleh
sekolompok orang yang menggunakan perahu, mereka berjumlah 18 orang.
Orang-orang ini mengaku sebagai pengikut Pangeran Hidayatullah. Orang-orang
tersebut meminta agar Tumenggung Tamiang Layang menyerahkan Klammer. 25 orang
Kristen yang mengantarkan Klammer bukan orang-orang yang terampil menggunakan
senjata, mereka hanya murid-murid didikan Klammer. Satu-satunya alasan mengapa
mereka kesulitan menangkap Klammer ialah karena Tumenggung Tamiang Layang
dengan tegas membela Klammer dan menolak permintaan orang-orang tersebut.
Tampaknya mereka segan dengan Tumenggung Tamiang Layang. Negosiasi terus
berjalan hingga malam hari, namun gerombolan tersebut bersikeras ingin
menangkap Klammer. Segera Tumenggung Tamiang Layang mengutus beberapa orang pendayung untuk meminta
bantuan kepada Kepala Suku Sarapat dan kepada Suta Ono di Telang. Pada pagi
hari puluhan orang dari Sarapat datang, begitu juga Suta Ono bersama beberapa
orang pengikutnya. Mereka bergabung untuk membela Klammer. Akhirnya rombongan
Klammer dapat melanjutkan perjalanan. 12 orang dari gerombolan tersebut
ditangkap Suta Ono.[38]
Ketika perahu yang ditumpangi Klammer sampai di muara sungai Sirau dan memasuki
sungai Barito, segerombolan orang mengintai mereka, tetapi bersamaan dengan itu
sebuah kapal api Celebes milik Pemerintah Kolonial Belanda melintasi sungai
Barito. Kapal ini berhasil membawa Klammer dengan selamat hingga Banjarmasin.[39]
[1]Fridolin
Ukur, Tuaiannya Sungguh Banyak: Sejarah Gereja
Kalimanta Evangelis Sejak Tahun 1835 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 20023)
9.
[2]A.W.
Beyer, “De Moor op de Rijnsche Zendelingen,” dalam Peter Boomgaarrd, Harry A.
Poezen dan Gerard Termorshuizen, God in
Indië: Bekeringsverhalen Uit de Negentiende Eeuw (Leiden: KITLV Uitgeverij,
1997), 61.
[5]Helius
Sjamsuddin, Pegustian
dan Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti, Perlawanan Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906 (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), 158.
[22]Hermann Witschi, Kristus Menang:
Sejarah Pekabaran Injil di Antara Orang Dayak di Borneo, terj. Cristus Siegt:
Geschichte Der Dajak Mission Auf Borneo, diterjemahkan oleh MC Barth-Frommel untuk mahasiswa STT GKE (Basel: Bassel Mission Library, 1942), 15, word.
[23]Ch.
Bambang Ikat, Irin E. Nanyan dan A. Sabran Bulat, Sejarah Gedung Gereja Imanuel
GKE Mandomai 1876-2016 ditandatangani di
Mandomai pada tanggal 26 November 2016. Naskah tersebut diarsipkan di kantor
Resort GKE Mandomai.
[32]Chindi Karlina, Sejarah Perkembangan Jemaat GKE Buntoi Tahun
1963-2006 (Banjarmasin: Skripsi pada STT GKE, 2015), 37-38.
[33]Versi
kedua ini merupakan hasil penelitian Tantan, seorang mantan Ketua Resort GKE
Buntoi. Penelitian ini dilakukan dengan mewawancarai para sesepuh gereja
Buntoi, tapi sangat disayangkan, saat ini sesepuh gereja Buntoi tersebut telah
meningga dunia. Hasil penelitian Tantan ini publikasikan terbatas dalam bentuk
makalah yang diberi judul Napak Tilas Penginjilan Misionaris Hofmeister di Desa
Buntoi.
[38]Hadi
Saputra, diunggah oleh Marko Mahin, Sejarah
GKE: Carl Johann Klammer (Palangka Raya: 23 September 2018, diakses pada
tanggal 18 April 2020,
http://mimbargke.com/sejarah/2018/09/23/carl-johann-klammer/
[39]Hermann Witschi, Kristus Menang…, 18.
Sumber:
Beyer, A.W. “De Moor op de Rijnsche Zendelingen,” dalam Peter Boomgaarrd, Harry A. Poezen dan Gerard Termorshuizen, God in Indië: Bekeringsverhalen Uit de Negentiende Eeuw (Leiden: KITLV Uitgeverij, 1997).
Ikat, Ch. Bambang, Irin E. Nanyan dan A. Sabran Bulat. “Sejarah Gedung Gereja Imanuel GKE Mandomai 1876-2016” dan ditandatangani di Mandomai pada tanggal 26 November 2016. Naskah tersebut diarsipkan di kantor Resort GKE Mandomai
Karlina, Chindi. Sejarah Perkembangan Jemaat GKE Buntoi Tahun 1963-2006. Banjarmasin: Skripsi pada STT GKE, 2015.
Saputra, Hadi. Sejarah GKE: Carl Johann Klammer, diunggah oleh Marko Mahin. Palangka Raya: 23 September 2018. Diakses pada tanggal 18 April 2020.
http://mimbargke.com/sejarah/2018/09/23/carl-johann-klammer/
Sjamsuddin, Helius. Pegustian dan Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti,Perlawanan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Ukur, Fridolin. Tuaiannya Sungguh Banyak: Sejarah Gereja Kalimanta Evangelis Sejak Tahun 1835. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 20023.
Witschi, Hermann. Kristus Menang: Sejarah Pekabaran Injil di Antara Orang Dayak di Borneo. Terjemah Cristus Siegt: Geschichte Der Dajak Mission Auf Borneo. Diterjemahkan oleh MC Barth-Frommel untuk mahasiswa STT GKE. Basel: Bassel Mission Library, 1942. Word.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar